Agama Untuk Kesalehan

|

Seorang karyawan perusahaan berlabel agama mengeluh, ''Di tempat pekerjaan saya, hubungan sesama pegawai tidak mencerminkan ikatan batin yang melambangkan ruhama, saling mengasihi. Tiap orang kelemahan yang lain, untuk menjatuhkan dan merebut kedudukan.


Aku tercenung mendengar pengaduan sahabat itu. Ia keluar dari perusahaan lama, karena dianggapnya tidak agamis. Ia sengaja hijrah ke perusahaan berlabel agama, konon untuk beribadah. Ternyata jauh pungguk dari bulan. Di tempat barunya itu agama hanya untuk menggebrak sentimen dan menarik konsumen. Itu berbeda di perusahaan biasa, yang bersifat komersial.

Lantaran dipimpin orang beriman, aroma religius terasa kental. Tiap bulan diselenggarakan pembinaan rohani, untuk menguatkan silaturahmi dan sikap cinta-mencintai. Jika ada karyawan yang tertimpa musibah, semua ikut berduka cita, dan mendoakan dengan ikhlas, bukan menebar fitnah padanya.

Itulah barangkali yang dicemaskan Nabi SAW tatkala bersabda seperti diriwayatkan Ahmad, ''Akan datang suatu zaman menimpa umatku, jika tidak hati-hati, fitnah bakal tersebar luas bagai penggalan malam yang gulita, di pagi hari seseorang mengaku beriman, malamnya sudah kafir, atau malamnya mengaku beriman, pagi harinya sudah kafir. Kalau itu agama dijual untuk memperoleh kesenangan duniawi.''

Di zaman edan itu, agama tidak lagi berfungsi untuk pembinaan pribadi, tetapi sebagai alat mengobarkan emosi demi kesuksesan ambisi. Salat dikerjakan hanya untuk riya, bukan untuk menghadap dan berdialog dengan Tuhan. Jauh sekali bedanya dengan keberagaman Hatim Al Asham.

Suatu saat Isham bin Yusuf berwudhu untuk salat bersama Hatim. Isham heran menyaksikan Hatim tak segera menyelesaikan wudhunya, malah cuma berdiri lama di depan bak air. Sampai akhirnya Isham bertanya, ''Kenapa engkau hanya berlama-lama di situ dan tidak juga berwudhu?''

Hatim menjawab, ''Saya sedang wudhu batin dulu.'' Dijelaskannya, wudhu batin ialah membersihkan jiwa dengan tujuh pembasuh, yaitu tobat, penyesalan, tak silau harta, tak suka dipuji, tak bernafsu menjadi yang terbesar, tak menyimpan dendam dan dengki kepada orang lain. ''Setelah itu, barulah kulakukan wudhu dzahir dengan air.''

Sebelum salat, Hatim mengendurkan dulu seluruh nafsu jasmaninya supaya Ka'bah terlihat di mata hatinya. ''Aku berada di antara hajatku kepada Allah dan rasa takutku. Kubulatkan keyakinan bahwa Ia sedang memandangku, menjanjikan surga di sebelah kananku dan neraka di samping kiriku. Aku juga merasa malaikat maut berdiri di belakang punggungku, siap menjemputku seraya menunggu panggilan Tuhan kepadaku. Karena itu aku selalu berpikir, itulah salatku yang terakhir.''

Mendengar uraian sahabat karibnya itu Isham meneteskan air mata. Oh, betapa damai dunia, jika pengabdian kepada Tuhan dilakukan dengan tulus tanpa pamrih, seperti wudhu dan salat Hatim Al Asham. - ahi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar