|



PRAMUKA

Praja Muda Karana
Pemuda Pembangun Bangsa
Hampir setengah abad mendampingi
Mendampingi metafora bangsa ini

Pemuda yang trampil dan berguna
bagi semua
Bagai nyiur
Nyiur yang segar dan berdaun lebat
Penuh inspirasi dan kreatifitas
Tidak pernah goyah walau ombak menerpa
Nyiur...Pramuka...
Semua berguna
Berguna untuk semua




Lanjut membaca “ ”  »»

Kecerdasan Intelektual Bukan Segalanya

|

Remaja adalah generasi penerus bangsa. Pembangunan negara nantinya akan sangat bergantung pada remaja saat ini. Oleh karena itu , mulai saat ini remaja harus terus mengupayakan perkembangan kecerdasan intelektual. Selain membentuk kecerdasan intelektual


, mulai saat ini remaja juga harus mampu membentuk kecerdasan spiritual. Untuk itu, salah satu hal yang paling penting adalah sholat, terutama shalat berjamaah, shalat berjammah di masjid. Dengan shalat , terutama shalat berjamaah , itu akan menjaga jiwa remaja, remaja muslim tentunya. Sehingga para remaja dalam mengapresiasikan atau mengamalkan ilmu-ilmu dan kecerdasannya tidak sembarangan, tetapi dibatasi oleh norma, nilai, dan aturan-aturan yang tidak mengarahkan nereka pada kehancuran.

Lanjut membaca “Kecerdasan Intelektual Bukan Segalanya”  »»

Agama Untuk Kesalehan

|

Seorang karyawan perusahaan berlabel agama mengeluh, ''Di tempat pekerjaan saya, hubungan sesama pegawai tidak mencerminkan ikatan batin yang melambangkan ruhama, saling mengasihi. Tiap orang kelemahan yang lain, untuk menjatuhkan dan merebut kedudukan.


Aku tercenung mendengar pengaduan sahabat itu. Ia keluar dari perusahaan lama, karena dianggapnya tidak agamis. Ia sengaja hijrah ke perusahaan berlabel agama, konon untuk beribadah. Ternyata jauh pungguk dari bulan. Di tempat barunya itu agama hanya untuk menggebrak sentimen dan menarik konsumen. Itu berbeda di perusahaan biasa, yang bersifat komersial.

Lantaran dipimpin orang beriman, aroma religius terasa kental. Tiap bulan diselenggarakan pembinaan rohani, untuk menguatkan silaturahmi dan sikap cinta-mencintai. Jika ada karyawan yang tertimpa musibah, semua ikut berduka cita, dan mendoakan dengan ikhlas, bukan menebar fitnah padanya.

Itulah barangkali yang dicemaskan Nabi SAW tatkala bersabda seperti diriwayatkan Ahmad, ''Akan datang suatu zaman menimpa umatku, jika tidak hati-hati, fitnah bakal tersebar luas bagai penggalan malam yang gulita, di pagi hari seseorang mengaku beriman, malamnya sudah kafir, atau malamnya mengaku beriman, pagi harinya sudah kafir. Kalau itu agama dijual untuk memperoleh kesenangan duniawi.''

Di zaman edan itu, agama tidak lagi berfungsi untuk pembinaan pribadi, tetapi sebagai alat mengobarkan emosi demi kesuksesan ambisi. Salat dikerjakan hanya untuk riya, bukan untuk menghadap dan berdialog dengan Tuhan. Jauh sekali bedanya dengan keberagaman Hatim Al Asham.

Suatu saat Isham bin Yusuf berwudhu untuk salat bersama Hatim. Isham heran menyaksikan Hatim tak segera menyelesaikan wudhunya, malah cuma berdiri lama di depan bak air. Sampai akhirnya Isham bertanya, ''Kenapa engkau hanya berlama-lama di situ dan tidak juga berwudhu?''

Hatim menjawab, ''Saya sedang wudhu batin dulu.'' Dijelaskannya, wudhu batin ialah membersihkan jiwa dengan tujuh pembasuh, yaitu tobat, penyesalan, tak silau harta, tak suka dipuji, tak bernafsu menjadi yang terbesar, tak menyimpan dendam dan dengki kepada orang lain. ''Setelah itu, barulah kulakukan wudhu dzahir dengan air.''

Sebelum salat, Hatim mengendurkan dulu seluruh nafsu jasmaninya supaya Ka'bah terlihat di mata hatinya. ''Aku berada di antara hajatku kepada Allah dan rasa takutku. Kubulatkan keyakinan bahwa Ia sedang memandangku, menjanjikan surga di sebelah kananku dan neraka di samping kiriku. Aku juga merasa malaikat maut berdiri di belakang punggungku, siap menjemputku seraya menunggu panggilan Tuhan kepadaku. Karena itu aku selalu berpikir, itulah salatku yang terakhir.''

Mendengar uraian sahabat karibnya itu Isham meneteskan air mata. Oh, betapa damai dunia, jika pengabdian kepada Tuhan dilakukan dengan tulus tanpa pamrih, seperti wudhu dan salat Hatim Al Asham. - ahi



Lanjut membaca “Agama Untuk Kesalehan”  »»

Uang Hilang, Suara Melayang

|

Bulan ini, April, tepatnya tanggal 9 April 2009 kita baru saja melaksanakan pemilu untuk memilih anggota legislatif. Walaupun menurut Presiden SBY pemilu kali ini sudah berjalan cukup baik tetapi kanyataan di lapangan masih banyak masalah yang timbul. Orang-orang yang masuk dalam DPT ( Daftar Pemilih Tetap) dan mendapat surat undangan untuk memilih enggan mendatangi TPS untuk mencontreng, sedangkan orang-orang yang ingin mencontreng malah tidak masuk dalam DPT . Ada 2 pihak yang dianggap bersalah dalam kasus semacam ini, yaitu pemilih dan KPU. Pemilih tidak mau berperan aktif dan antusias dalam mengikuti pemilu kali ini dan KPU memiliki kecermatan yang kurang dalam mendata masyarakat yang berhak mengeluarkan suaranya dengan cara mencontreng.


Ada hal menarik lainnya selain terjadi pada pemilih dan KPU yaitu pada caleg-caleg yang akan dipilih masyarakat untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka nantinya. Entah budaya ini sudah ada sejak dulu atau baru-baru ini saja ngetrennya. Hampir semua caleg sibuk membagi-bagikan uang ke orang-orang berpemikiran sempit yang diharapkan mau mencontreng namanya saat memilih nanti. Cara membagikannya pun tidak hanya dengan cara gerilya alias sembunyi-sembunyi tetapi juga ada yang secara blak-blakkan langsung menyebarkan uang saat mereka kampanye di jalanan. Tidak sedikit dari mereka yang rela mengeluarkan uang dari saku mereka sendiri demi meraih suara yang besar dari orang-orang yang mungkin mau memilih mereka hanya karena dapat uang. Tragisnya apabila uang-uang itu mereka peroleh dari hasil utang atau malahan dari hasil korupsi.
Ketika jumlah suara hasil pemilu sudah keluar, dampak yang muncul pada para caleg pun beragam. Ada dari mereka yang sangat senang karena berhasil menipu rakyat dengan uang mereka. Ada juga dari mereka yang frustasi karena terlanjur membagi-bagikan uang tetapi tidak berhasil duduk di kursi legislatif. Uang hilang, suara melayang. Saya sempat membaca beberapa berita di internet tentang caleg yang stres karena gagal dalam pemilu. Salah satunya menyebutkan bahwa ada 14 caleg yang dirawat di sebuah balai rehabilitasi mental bersama Sumanto, manusia kanibal. Saat saya membaca berita ini, saya berpikir sejenak apa yang dilakukan para caleg ini sudah sederajat dengan yang dilakukan dengan Sumanto hingga masuk ke tempat yang sama. Tidak hanya itu, sudah ada 3 caleg yang memesan tempat di balai rehabilitasi yang sama. Sungguh fenomena yang tidak biasa. Ada juga puskesmas-puskesmas di Semarang yang cukup pengertian menyediakan beberapa kamar dan juga penambahan stok obat penenang untuk mengantisipasi melonjaknya jumlah caleg yang stres akibat pemilu. Sungguh malang nasib para caleg itu. Tapi itu semua terjadi atas kehendak mereka sendiri, entah apa yang sedang mereka pikirkan saat menghutang dan membagi uang-uang itu, kekuasaan dari suara rakyat yang mereka beli.
Dengan mereka membagi-bagikan uang membuktikan bahwa terjadi krisis kepercayaan pada tubuh para caleg. Berarti mereka sudah yakin dan percaya pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan terpilih Bagaimana rakyat bisa percaya aspirasi-aspirasi mereka akan tersampaikan jika calegnya sendiri tidak bisa percaya pada dirinya sendiri. Sungguh ironis. Seharusnya para caleg mempersiapkan diri dengan baik sebelum maju ke pileg, dengan memberi kepercayaan pada masyarakat bahwa mereka mampu menjadi pemimpin dan penyalur aspirasi bagi rakyat. Mereka harus berperan akti dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Untuk masyarakat sendiri seharusnya mereka lebih selektif lagi saat mencontreng nama caleg, jangan mudah dibodohi serta ditipu dengan uang-uang pembodoh itu.

Jefri Rustam Aji/ 13
Akselerasi
MAN Kota Kediri 3


Lanjut membaca “Uang Hilang, Suara Melayang”  »»

hadis Rasulullah

|

Narrated `Aisha:
(the mother of the faithful believers) The commencement of the
Divine Inspiration to Allah's Apostle was in the form of good
dreams which came true like bright day light, and then the
love of seclusion was bestowed upon him. He used to go in
seclusion in the cave of Hira where he used to worship (Allah
alone) continuously for many days before his desire to see his
family.



He used to take with him the journey food for the stay
and then come back to (his wife) Khadija to take his food
likewise again till suddenly the Truth descended upon him
while he was in the cave of Hira. The angel came to him and
asked him to read. The Prophet replied, "I do not know how to
read. The Prophet added, "The angel caught me (forcefully) and
pressed me so hard that I could not bear it any more. He then
released me and again asked me to read and I replied, 'I do
not know how to read.' Thereupon he caught me again and
pressed me a second time till I could not bear it any more. He
then released me and again asked me to read but again I
replied, 'I do not know how to read (or what shall I read)?'
Thereupon he caught me for the third time and pressed me, and
then released me and said, 'Read in the name of your Lord, who
has created (all that exists) has created man from a clot.
Read! And your Lord is the Most Generous." (96.1, 96.2, 96.3)
Then Allah's Apostle returned with the Inspiration and with
his heart beating severely. Then he went to Khadija bint
Khuwailid and said, "Cover me! Cover me!" They covered him
till his fear was over and after that he told her everything
that had happened and said, "I fear that something may happen
to me." Khadija replied, "Never! By Allah, Allah will never
disgrace you. You keep good relations with your Kith and kin,
help the poor and the destitute, serve your guests generously
and assist the deserving calamity−afflicted ones." Khadija
then accompanied him to her cousin Waraqa bin Naufal bin Asad
[??] bin `Abdul `Uzza, who, during the pre Islamic Period
became a Christian and used to write the writing with Hebrew
letters. He would write from the Gospel in Hebrew as much as
Allah wished him to write. He was an old man and had lost his
eyesight. Khadija said to Waraqa, "Listen to the story of your
nephew, O my cousin!" Waraqa asked, "O my nephew! What have
you seen?" Allah's Apostle described whatever he had seen.
Waraqa said, "This is the same one who keeps the secrets
(angel Gabriel) whom Allah had sent to Moses. I wish I were
young and could live up to the time when your people would
turn you out." Allah's Apostle asked, "Will they drive me
out?" Waraqa replied in the affirmative and said, "Anyone
(man) who came with something similar to what you have brought
was treated with hostility; and if I should remain Alive till
the day when you will be turned out then I would support you
strongly." But after a few days Waraqa died and the Divine
Inspiration was also paused for a while. Narrated Jabir bin
`Abdullah Al−Ansari while talking about the period of pause in
revelation reporting the speech of the Prophet "While I was
walking, all of a sudden I heard a voice from the sky. I
looked up and saw the same angel who had visited me at the
cave of Hira' sitting on a chair between the sky and the
earth. I got afraid of him and came back home and said, 'Wrap
me (in blankets).' And then Allah revealed the following Holy
Verses (of Qur'an): 'O you (i.e. Muhammad)! wrapped up in
garments!' Arise and warn (the people against Allah's
Punishment),... up to 'and desert the idols.' (74.1−5) After
this the revelation started coming strongly, frequently and
regularly."

Lanjut membaca “hadis Rasulullah”  »»