Uang Hilang, Suara Melayang

|

Bulan ini, April, tepatnya tanggal 9 April 2009 kita baru saja melaksanakan pemilu untuk memilih anggota legislatif. Walaupun menurut Presiden SBY pemilu kali ini sudah berjalan cukup baik tetapi kanyataan di lapangan masih banyak masalah yang timbul. Orang-orang yang masuk dalam DPT ( Daftar Pemilih Tetap) dan mendapat surat undangan untuk memilih enggan mendatangi TPS untuk mencontreng, sedangkan orang-orang yang ingin mencontreng malah tidak masuk dalam DPT . Ada 2 pihak yang dianggap bersalah dalam kasus semacam ini, yaitu pemilih dan KPU. Pemilih tidak mau berperan aktif dan antusias dalam mengikuti pemilu kali ini dan KPU memiliki kecermatan yang kurang dalam mendata masyarakat yang berhak mengeluarkan suaranya dengan cara mencontreng.


Ada hal menarik lainnya selain terjadi pada pemilih dan KPU yaitu pada caleg-caleg yang akan dipilih masyarakat untuk menyalurkan aspirasi-aspirasi mereka nantinya. Entah budaya ini sudah ada sejak dulu atau baru-baru ini saja ngetrennya. Hampir semua caleg sibuk membagi-bagikan uang ke orang-orang berpemikiran sempit yang diharapkan mau mencontreng namanya saat memilih nanti. Cara membagikannya pun tidak hanya dengan cara gerilya alias sembunyi-sembunyi tetapi juga ada yang secara blak-blakkan langsung menyebarkan uang saat mereka kampanye di jalanan. Tidak sedikit dari mereka yang rela mengeluarkan uang dari saku mereka sendiri demi meraih suara yang besar dari orang-orang yang mungkin mau memilih mereka hanya karena dapat uang. Tragisnya apabila uang-uang itu mereka peroleh dari hasil utang atau malahan dari hasil korupsi.
Ketika jumlah suara hasil pemilu sudah keluar, dampak yang muncul pada para caleg pun beragam. Ada dari mereka yang sangat senang karena berhasil menipu rakyat dengan uang mereka. Ada juga dari mereka yang frustasi karena terlanjur membagi-bagikan uang tetapi tidak berhasil duduk di kursi legislatif. Uang hilang, suara melayang. Saya sempat membaca beberapa berita di internet tentang caleg yang stres karena gagal dalam pemilu. Salah satunya menyebutkan bahwa ada 14 caleg yang dirawat di sebuah balai rehabilitasi mental bersama Sumanto, manusia kanibal. Saat saya membaca berita ini, saya berpikir sejenak apa yang dilakukan para caleg ini sudah sederajat dengan yang dilakukan dengan Sumanto hingga masuk ke tempat yang sama. Tidak hanya itu, sudah ada 3 caleg yang memesan tempat di balai rehabilitasi yang sama. Sungguh fenomena yang tidak biasa. Ada juga puskesmas-puskesmas di Semarang yang cukup pengertian menyediakan beberapa kamar dan juga penambahan stok obat penenang untuk mengantisipasi melonjaknya jumlah caleg yang stres akibat pemilu. Sungguh malang nasib para caleg itu. Tapi itu semua terjadi atas kehendak mereka sendiri, entah apa yang sedang mereka pikirkan saat menghutang dan membagi uang-uang itu, kekuasaan dari suara rakyat yang mereka beli.
Dengan mereka membagi-bagikan uang membuktikan bahwa terjadi krisis kepercayaan pada tubuh para caleg. Berarti mereka sudah yakin dan percaya pada dirinya sendiri bahwa dia tidak akan terpilih Bagaimana rakyat bisa percaya aspirasi-aspirasi mereka akan tersampaikan jika calegnya sendiri tidak bisa percaya pada dirinya sendiri. Sungguh ironis. Seharusnya para caleg mempersiapkan diri dengan baik sebelum maju ke pileg, dengan memberi kepercayaan pada masyarakat bahwa mereka mampu menjadi pemimpin dan penyalur aspirasi bagi rakyat. Mereka harus berperan akti dalam kehidupan sosial masyarakat sehari-hari. Untuk masyarakat sendiri seharusnya mereka lebih selektif lagi saat mencontreng nama caleg, jangan mudah dibodohi serta ditipu dengan uang-uang pembodoh itu.

Jefri Rustam Aji/ 13
Akselerasi
MAN Kota Kediri 3


Tidak ada komentar:

Posting Komentar